Minggu, 18 Desember 2011

Algoritma DFS

Depth-first search (DFS) melakukan pencarian secara preorder. Mengunjungi anak suatu simpul sebelum simpul tetangganya.
Algoritma
Step 1: letakkan root parent di tempat yang paling atas
Step 2: Lakukan looping hingga titik terakhir
Step 3: letakkan titik yang terhubung dengan root parent pada satu garis lurus
Step 4: lakukan pengecekan, jika titik tidak memiliki child letakkan pada garis, pindah ke titik selanjutnya
Step 5: jika titik yang ditemui memiliki child hubungkan dengan titik sebelumnya

 pseudocode:

DFS(G,v)   ( v is the vertex where the search starts )
         Stack S := {};   ( start with an empty stack )
         for each vertex u, set visited[u] := false;
         push S, v;
         while (S is not empty) do
            u := pop S;
            if (not visited[u]) then
               visited[u] := true;
               for each unvisited neighbour w of u
                  push S, w;
            end if
         end while
      END DFS() 
 
Sumber : http://www.cs.toronto.edu/~heap/270F02/node36.html 
http://yufi27.wordpress.com/2009/03/29/algoritma-dfs-bfs/ 

Kaki-kak kecil tanpa sepatu

Kaki-kaki kecil  tanpa sepatu,
Berjalan dan kadang-kadang berlari
Kerikil-kerikil menempel di kulit
Antara telapak dan jari
Rasa sakit sudah biasa
Semoga hari ini dapat rupiah lebih

Kaki-kaki kecil tanpa sepatu…
Menahan sakit demi hidup esok hari..

Ayah

Aku berlari. Seperti orang dikejar setan. Keringat sudah membajiri tiap lekuk tubuhku. Namun, kaki ini tidak boleh berhenti. Tidak boleh! Aku tidak mau paman tahu kalau aku sedang bolos sekolah lagi hari ini. Dia pasti akan mengadukan pada Ayah. Samar ku lihat sebuah gubuk tua di pinggir jalan menuju desa sebelah. Tenang rasanya. Secepat kilat aku masuk kedalamnya. Aku tidak mau paman tahu keberadaan ku disini.
Gubuk itu terletak di pinggir jalan dekat dengan persawahan. Ukurannya kecil, hanya 3x4 meter. Terbuat dari papan-papan yang mulai lapuk. Di dalamnya gelap. Hanya sedikit cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah dinding yang bolong dimakan rayap. Alasnya tanah kering.
Kata orang, gubuk ini dulunya digunakan sebagai tempat tinggal pak Ilham. Duda
Sudah beberapa hari aku tidak masuk sekolah. Aku memilih bolos karena banyak tugas sekolah yang tidak aku kerjakan. Sebenarnya, bukannya aku tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan Bu Darni, wali kelasku, tapi, setiap kali aku mengerjakannya pasti ada saja hal yang menganggu. Aku merasa begitu bodoh. Tidak satu soalpun aku mengerti. Itulah sebabnya aku memilih bermain bersama teman-temanku di luar sana.

Saat itu aku masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Padahal kalau dipikir-pikir sekolah tempat ku belajar merupakan sebuah sekolah unggulan di kabupatenku. Tapi aku heran, mengapa orang sebodoh aku bisa ada di dalam sana. Dunia ini memang aneh menurutku.

Dulu ketika masih berumur enam tahun. Aku memaksa Ayah ku untuk segera mengantarkan ku sekolah. Aku ingin belajar seperti teman-temanku yang lain. Begitulah alasanku pagi itu. Padahal, di balik niatku belajar di sekolah, Aku ingin dibelikan tas baru, sepatu baru, juga seragam putih merah baru seperti yang dipakai oleh teman-temanku. Betapa bahagianya aku ketika semua perkakas yang serba baru itu melekat sempurna disetiap bagian tubuhku.

Tapi hari itu apa yang aku lakukan? Semangat untuk belajar di sekolah seolah-olah sirna. Memang, orang tua ku tidak menyadari kalau akhir-akhir ini aku sering bolos sekolah. Namun, mereka juga tidak heran dengan keindahan raporku dengan beragam warna-warni nilai. Ada yang hitam juga merah. Kalau dihitung-hitung jumlah nilai yang berwarna merah seimbang dengan warna hitam. Itulah kehebatanku di sekolah. Mampu mengubah rapor yang biasa-biasa saja menjadi berwarna-warni. Huf!

Hari-hari berikutnya terus terlewati begitu saja. Tanpa ada langkah dan perubahan. Bolos sekolah semakin sering. Belajar di rumahpun minta ampun malasnya. Bermain bersama teman-teman tanpa kenal waktu telah menjadi rutinitasku. Tidak boleh tidak! Orang tua ku, terutama ayah, sudah beberapa kali mensehatiku. Tapi itu cuma angin lalu saja bagiku.

Ini untuk kesekian kalinya ayah maupun bunda tidak mau mengambil raporku ke sekolah. Telinga mereka sudah cukup mendengar ceramah dari guruku mengenai tingkah dan nilai warna warni yang menghiasi raporku. Untung saja ada paman yang berbaik hati mengambilkannya.

“Ayah!,”

Panggil ku kala itu. Ayah hanya diam. Beliau tidak menghiraukannya. Mungkin saja karena rapor ku kali ini yang sangat menyedihkan. Namun, tidak seperti biasanya ketika raporku jelek Ayah pasti memarahiku. Tapi tidak dengan rapor kali ini. Sebenarnya aku sedikit heran, tapi akhirnya aku baru menyadari ayah begitu kecewa terhadapku. Aku tinggal kelas. Iya! Aku akan tinggal kelas jika saja paman tidak memohon-mohon kepada wali kelas dan kepala sekolahku. Aku diragukan di sekolah ini. Jika aku aku tinggal kelas, sudah dapat dipastikan aku harus bersiap-siap mencari sekolah baru. Dan aku tidak mau itu.

Hingga malam datang Ayah tidak juga mau berbicara denganku. Aku merasa sendiri di rumah ini. Tidak jauh beda dengan bunda. Coba saja kalau ada kakak di sini, pikir ku. Pasti dia mau mendengarkan aku. menasehati ku ketika aku salah. Tapi sayang, kakak harus melanjutkan kuliahnya di luar kota. Begitu jauh menurutku.

Pagi sebelum keberangkatan kakak, aku sempat menanyakan mengenai alasan mengapa kakak harus pergi kuliah jauh-jauh di sana.

“Kakak gak akan pulang sebelum kakak berhasil. Kakak ingin sekali melihat ayah dan bunda menangis karena prestasi kakak,” ujar kakak kala itu.

Tiba-tiba saja kata kakak tadi merasuk memenuhi ubun-ubunku. Hatiku bergetar. Aku baru menyadari tujuan kakak sebenarnya ke sana. Jauh entah dimana. Harapanya hanya satu. ingin melihat ayah dan bunda menangis karena prestasinya. Bukan menangis seperti yang aku lakukan sekarang. Aku baru menyadarinya.

Satu lagi yang membuat ku terpekik. kakak ke sana tidak menerima apapun pemberian dari ayah maupun bunda. Ia hanya menunjukkan kalau saja dia bisa tanpa harus ada orang di sisinya. Kakak tidak mau terlihat manja. Di sana dia mulai semuanya. Mulai mencari makan sendiri hingga melanjutkan pendidikan di universitas ternama di Jakarta. Lagi-lagi aku meringgis. Aku? Iya! Apa yang aku lakukan selama ini? Terhadap diriku, orang tua ku, juga guru-guruku. Tidak ada! Aku hanya menyusahkan mereka saja.

Di dalam kamar ku coba kembali membuka-buka rapor ku. Begitu malu aku melihatnya. Ayah masih belum mau bicara denganku. Ini hukuman paling berat yang pernah kurasakan. Aku sendiri, tidak ada yang memperdulikan. Huf! Ku dekati meja belajar. Tidak terasa butiran bening mulai membasahi pipiku. Aku merasa begitu bersalah. Dalam beningnya air mata, kembali ku buka lembaran buku. Aku akan mengubah ini semua. Tidak terasa aku menulis sesuatu di buku matematika yang sedang ku baca.

Semester depan aku harus masuk sepuluh besar!

Mungkin terlalu mustahil bagiku. Tapi aku yakin aku bisa melakukannya untuk ayah dan bunda. Tunggu saja, aku akan membuktikannya. Aku juga bisa seperti kakak, batinku. Air mataku terus mengalir. Tanpa henti.

Waktu terus berlalu. Tidak terasa telah lima bulan aku melewati waktu baruku. Waktu pembuktian. Ya! Pembuktian kalau aku juga bisa seperti kakak. Dan itu juga berarti rapor semesterku berikutnya sebentar lagi akan dibagikan.

Selama lima bulan juga aku terus belajar. Belajar mulai mencari teman baru, hingga belajar mengenali keadaan. Keadaan kapan aku belajar dan keadaan kapan aku main. Rutinitas ku benar-benar berubah. Semua itu aku lakukan dengan satu harapan. Ayah dan bunda tersenyum kembali.

Setelah menunggu sekian lama, rapor berikutnya pun dibagikan. Hal yang menyedihkan terulang kembali. Lagi-lagi paman yang mengambil raporku. Huf! Mungkin ayah belum percaya. Lirih ku. Aku pasrah saja. Aku tidak tahu bagaimana tanggapan ayah hari ini. Mudah-mudahan saja ayah tidak menghukumku lagi seperti yang selama ini aku jalani. Ayah tidak mau berbicara lagi denganku. Kuletakkan raporku di atas meja kerjanya. Mudah-mudahan saja ayah mau membukanya. Harap ku.

“Khairil!,”

Ayah memanggilku. Hatiku bersorak.Setelah sekian lama Ayah tidak memanggil nama ku, namun aku juga merasa deg-degkan. Apa lagi yang akan aku alami sekarang. Entahlah. Dengan langkah sigap aku berlari keluar dari kamar menuju ruang tamu tempat Ayah duduk. Tiba-tiba saja Ayah memelukku. “Terima Kasih nak! Kamu sudah membuktikannya!” lirih ayah samar dalam isakan harunya. Tidak terasa aku kembali merasakan pelukan hangat itu. Pelukan yang sudah lama aku impikan. Pelukan kasih sayang. Air mataku tidak mampu lagi diam. Mengalir tanpa aba-aba. Begitu juga dengan ayahku. Aku berhasil membuatnya menangis hari ini. Menangis karena prestasi ku. Aku mendapat peringkat ketiga di kelasku. Terima kasih Tuhan!

Apakah Demokrasi Sejalan dengan Islam?

Demokrasi, kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Negara Indonesia yang kita cintai ini juga menganut asas demokrasi. Tapi apakah kita paham dan mengerti apa dan bagaimana demokrasi itu sebenarnya?

Demokrasi yang kita kenal sekarang ini berasal dari BahasaYunani yang berarti kekuasaan rakyat. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat).
Prinsip demokrasi menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya:


  • Kebebasan berbicara setiap warga negara. 
  • Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti. 
  • Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas 
  • Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat. 
  • pemisahan eksekutif,kekuasaan legislatif,yudikatif. 
  • Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum). 
  • Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Apakah prinsip seperti itu sejalan dengan Islam?
Al-Maududi,seorang ulamasecara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
  • Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
  • Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
  • Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
  • Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dengan islam dan tidak pula sejalan dengan islam.
  2. Hal-hal yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
  3. Hal yang bertentangan adaah dalam pengambilan keputusan yang mutlak mementingkan suara mayoritas, meskipun hal tersebut bertentangan dengan agama Allah, aturan hukum yang deberlakukan bukan atas hukum Allah, tetapi atas pemikiran manusia.

Dukungan Pemerintah Terhadap Opensource

Dukungan pemerintah untuk memerangi pembajakan tidak hanya sebagai isapan jempol semata. Maraknya pembajakan di negara ini tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah, untuk itu pemerintah membuat suatu ajang pemberian penghargaan kepada pihak-pihak yang mendukung perubahan memerangi pembajakan dengan cara beralih pada penggunaan perangkat lunak Open Source. Ajang tersebut dinamakan Indonesia Open Source Award( IOSA) yang telah berlangsung untuk kali ke dua dan pemenangnya telah diumumkan pada tanggal 8 Desember 2011 ini.

Indonesia Open Source Award (IOSA) 2011 merupakan suatu ajang pemberian penghargaan kepada instansi pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota yang telah memulai pelaksanaan proses migrasi dan implementasi open source software di instansinya masing-masing. Penghargaan ini diberikan melalui serangkaian penilaian dan pengamatan di berbagai instansi pemerintah mengenai sejauh mana tingkat pemanfaatan dan pengimplementasian open source software dalam aktivitas organisasinya.  


Tujuan dari pelaksanaan ajang ini adalah untuk meningkatkan pemanfaatan dan implementasi open source software di lingkungan pemerintahan dan lembaga pendidikan, yang diharapkan juga mendorong peningkatan pemanfaatan open source software di lingkungan bisnis dan individu.

DASAR PENYELENGGARAAN

  1. Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  2. Undang-Undang No. 19/2002 tentang Hak Cipta.
  3. Instruksi Presiden No. 6/2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia.
  4. Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5/SE/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 tentang kewajiban pemakaian dan pemanfaatan legal software open source/proprietary di lingkungan instansi pemerintah.
  5. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. SE/01/M.PAN/3/2009 tanggal 30 Maret 2009 tentang pemanfaatan perangkat lunak legal dan open source software (OSS). 

Informasi selengkapnya mengenai IOSA silahkan klik disini.


Sumber : http://www.iosa.web.id

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons