Minggu, 18 Desember 2011

Ayah

Aku berlari. Seperti orang dikejar setan. Keringat sudah membajiri tiap lekuk tubuhku. Namun, kaki ini tidak boleh berhenti. Tidak boleh! Aku tidak mau paman tahu kalau aku sedang bolos sekolah lagi hari ini. Dia pasti akan mengadukan pada Ayah. Samar ku lihat sebuah gubuk tua di pinggir jalan menuju desa sebelah. Tenang rasanya. Secepat kilat aku masuk kedalamnya. Aku tidak mau paman tahu keberadaan ku disini.
Gubuk itu terletak di pinggir jalan dekat dengan persawahan. Ukurannya kecil, hanya 3x4 meter. Terbuat dari papan-papan yang mulai lapuk. Di dalamnya gelap. Hanya sedikit cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah dinding yang bolong dimakan rayap. Alasnya tanah kering.
Kata orang, gubuk ini dulunya digunakan sebagai tempat tinggal pak Ilham. Duda
Sudah beberapa hari aku tidak masuk sekolah. Aku memilih bolos karena banyak tugas sekolah yang tidak aku kerjakan. Sebenarnya, bukannya aku tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan Bu Darni, wali kelasku, tapi, setiap kali aku mengerjakannya pasti ada saja hal yang menganggu. Aku merasa begitu bodoh. Tidak satu soalpun aku mengerti. Itulah sebabnya aku memilih bermain bersama teman-temanku di luar sana.

Saat itu aku masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Padahal kalau dipikir-pikir sekolah tempat ku belajar merupakan sebuah sekolah unggulan di kabupatenku. Tapi aku heran, mengapa orang sebodoh aku bisa ada di dalam sana. Dunia ini memang aneh menurutku.

Dulu ketika masih berumur enam tahun. Aku memaksa Ayah ku untuk segera mengantarkan ku sekolah. Aku ingin belajar seperti teman-temanku yang lain. Begitulah alasanku pagi itu. Padahal, di balik niatku belajar di sekolah, Aku ingin dibelikan tas baru, sepatu baru, juga seragam putih merah baru seperti yang dipakai oleh teman-temanku. Betapa bahagianya aku ketika semua perkakas yang serba baru itu melekat sempurna disetiap bagian tubuhku.

Tapi hari itu apa yang aku lakukan? Semangat untuk belajar di sekolah seolah-olah sirna. Memang, orang tua ku tidak menyadari kalau akhir-akhir ini aku sering bolos sekolah. Namun, mereka juga tidak heran dengan keindahan raporku dengan beragam warna-warni nilai. Ada yang hitam juga merah. Kalau dihitung-hitung jumlah nilai yang berwarna merah seimbang dengan warna hitam. Itulah kehebatanku di sekolah. Mampu mengubah rapor yang biasa-biasa saja menjadi berwarna-warni. Huf!

Hari-hari berikutnya terus terlewati begitu saja. Tanpa ada langkah dan perubahan. Bolos sekolah semakin sering. Belajar di rumahpun minta ampun malasnya. Bermain bersama teman-teman tanpa kenal waktu telah menjadi rutinitasku. Tidak boleh tidak! Orang tua ku, terutama ayah, sudah beberapa kali mensehatiku. Tapi itu cuma angin lalu saja bagiku.

Ini untuk kesekian kalinya ayah maupun bunda tidak mau mengambil raporku ke sekolah. Telinga mereka sudah cukup mendengar ceramah dari guruku mengenai tingkah dan nilai warna warni yang menghiasi raporku. Untung saja ada paman yang berbaik hati mengambilkannya.

“Ayah!,”

Panggil ku kala itu. Ayah hanya diam. Beliau tidak menghiraukannya. Mungkin saja karena rapor ku kali ini yang sangat menyedihkan. Namun, tidak seperti biasanya ketika raporku jelek Ayah pasti memarahiku. Tapi tidak dengan rapor kali ini. Sebenarnya aku sedikit heran, tapi akhirnya aku baru menyadari ayah begitu kecewa terhadapku. Aku tinggal kelas. Iya! Aku akan tinggal kelas jika saja paman tidak memohon-mohon kepada wali kelas dan kepala sekolahku. Aku diragukan di sekolah ini. Jika aku aku tinggal kelas, sudah dapat dipastikan aku harus bersiap-siap mencari sekolah baru. Dan aku tidak mau itu.

Hingga malam datang Ayah tidak juga mau berbicara denganku. Aku merasa sendiri di rumah ini. Tidak jauh beda dengan bunda. Coba saja kalau ada kakak di sini, pikir ku. Pasti dia mau mendengarkan aku. menasehati ku ketika aku salah. Tapi sayang, kakak harus melanjutkan kuliahnya di luar kota. Begitu jauh menurutku.

Pagi sebelum keberangkatan kakak, aku sempat menanyakan mengenai alasan mengapa kakak harus pergi kuliah jauh-jauh di sana.

“Kakak gak akan pulang sebelum kakak berhasil. Kakak ingin sekali melihat ayah dan bunda menangis karena prestasi kakak,” ujar kakak kala itu.

Tiba-tiba saja kata kakak tadi merasuk memenuhi ubun-ubunku. Hatiku bergetar. Aku baru menyadari tujuan kakak sebenarnya ke sana. Jauh entah dimana. Harapanya hanya satu. ingin melihat ayah dan bunda menangis karena prestasinya. Bukan menangis seperti yang aku lakukan sekarang. Aku baru menyadarinya.

Satu lagi yang membuat ku terpekik. kakak ke sana tidak menerima apapun pemberian dari ayah maupun bunda. Ia hanya menunjukkan kalau saja dia bisa tanpa harus ada orang di sisinya. Kakak tidak mau terlihat manja. Di sana dia mulai semuanya. Mulai mencari makan sendiri hingga melanjutkan pendidikan di universitas ternama di Jakarta. Lagi-lagi aku meringgis. Aku? Iya! Apa yang aku lakukan selama ini? Terhadap diriku, orang tua ku, juga guru-guruku. Tidak ada! Aku hanya menyusahkan mereka saja.

Di dalam kamar ku coba kembali membuka-buka rapor ku. Begitu malu aku melihatnya. Ayah masih belum mau bicara denganku. Ini hukuman paling berat yang pernah kurasakan. Aku sendiri, tidak ada yang memperdulikan. Huf! Ku dekati meja belajar. Tidak terasa butiran bening mulai membasahi pipiku. Aku merasa begitu bersalah. Dalam beningnya air mata, kembali ku buka lembaran buku. Aku akan mengubah ini semua. Tidak terasa aku menulis sesuatu di buku matematika yang sedang ku baca.

Semester depan aku harus masuk sepuluh besar!

Mungkin terlalu mustahil bagiku. Tapi aku yakin aku bisa melakukannya untuk ayah dan bunda. Tunggu saja, aku akan membuktikannya. Aku juga bisa seperti kakak, batinku. Air mataku terus mengalir. Tanpa henti.

Waktu terus berlalu. Tidak terasa telah lima bulan aku melewati waktu baruku. Waktu pembuktian. Ya! Pembuktian kalau aku juga bisa seperti kakak. Dan itu juga berarti rapor semesterku berikutnya sebentar lagi akan dibagikan.

Selama lima bulan juga aku terus belajar. Belajar mulai mencari teman baru, hingga belajar mengenali keadaan. Keadaan kapan aku belajar dan keadaan kapan aku main. Rutinitas ku benar-benar berubah. Semua itu aku lakukan dengan satu harapan. Ayah dan bunda tersenyum kembali.

Setelah menunggu sekian lama, rapor berikutnya pun dibagikan. Hal yang menyedihkan terulang kembali. Lagi-lagi paman yang mengambil raporku. Huf! Mungkin ayah belum percaya. Lirih ku. Aku pasrah saja. Aku tidak tahu bagaimana tanggapan ayah hari ini. Mudah-mudahan saja ayah tidak menghukumku lagi seperti yang selama ini aku jalani. Ayah tidak mau berbicara lagi denganku. Kuletakkan raporku di atas meja kerjanya. Mudah-mudahan saja ayah mau membukanya. Harap ku.

“Khairil!,”

Ayah memanggilku. Hatiku bersorak.Setelah sekian lama Ayah tidak memanggil nama ku, namun aku juga merasa deg-degkan. Apa lagi yang akan aku alami sekarang. Entahlah. Dengan langkah sigap aku berlari keluar dari kamar menuju ruang tamu tempat Ayah duduk. Tiba-tiba saja Ayah memelukku. “Terima Kasih nak! Kamu sudah membuktikannya!” lirih ayah samar dalam isakan harunya. Tidak terasa aku kembali merasakan pelukan hangat itu. Pelukan yang sudah lama aku impikan. Pelukan kasih sayang. Air mataku tidak mampu lagi diam. Mengalir tanpa aba-aba. Begitu juga dengan ayahku. Aku berhasil membuatnya menangis hari ini. Menangis karena prestasi ku. Aku mendapat peringkat ketiga di kelasku. Terima kasih Tuhan!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons